Saturday, August 14, 2010

Pengalaman Merantau ( berlanjut... )

Selama 15 thn aku merantau sejak umur 12 thn dalam urusan menuntut ilmu dan ikut suami, aku telah banyak bertemu dgn berbagai macam orang dr berbagai budaya dan bahasa sampai bangsa. Aku pernah bergaul dgn teman-teman yg berasal dari hampir semua daerah di Indonesia ketika aku sekolah mondok dan ngekos di Solo maupun saat kuliah di Malang. Akupun belajar beradaptasi dgn budaya lokal Solo yg sopan santun dan lemah lembut dan makanannya yg manis2 semanis diriku, demikian juga budaya Malang yg blak2an dan bahasa jawa yg dibalik2 dan cukup berbeda dgn bhs jawa Solo berikut dgn kata makiannya yg terkenal itu. Hehe. Banyak kenangan manis maupun pahit yg kualami disana tp akupun banyak mengambil hikmah dr pengalaman2 pahit tsb. Hidup di daerah orang membuatku belajar utk hidup mandiri walau tidak scr finansial, tp aku harus memutuskan segalanya sendiri terutama ketika aku menghadapi berbagai macam masalah.


Keterbukaanku dalam bergaul dengan banyak orang dari latar belakang dan budaya yang berbeda tidak membatasiku ketika aku memilih seorang suami menjadi pendamping hidupku. Aku memang tidak pernah mematok dengan siapa dan dari suku apa suamiku kelak. Yang terpenting buatku adalah agama dan budi pekertinya yg bisa menjadi contoh buatku dan membimbing aku untuk menjadi muslimah yg baik. Karena jika dua hal itu yg dijadikan patokan otomatis tanggung jawab, jujur, dll akan muncul dengan sendirinya. Kenapa orang India? Yah, karena Allahlah yg mempertemukanku dengan dirinya dan mempermudah jalanku untuk berjodoh dengannya. As simple as that. Kalaupun aku dijodohkan dengan orang Afrika sekalipun aku tidak masalah selama agama dan akhlaknya bagus. Kalau soal wajahnya ganteng mah itukan cuma bonus dan aku juga nggak munafik lebih cenderung suka dengan wajah yg enak dilihat, dr perspektifku. But ganteng is not everything, after all he's getting old too! haha.

Dan dua minggu setelah pernikahanku, mulailah babak baru hidup merantau di negeri orang. Pertama kali menginjakkan kaki di negara asing adalah Singapura, dimana suamiku bekerja waktu itu. We started from nothing at that time. Selama 3 bulan tinggal disana, kita sampai harus berpindah-pindah 3 kali. Dari menumpang di flat temannya ( yg kebetulan lagi ditinggal kosong beberapa hari ) saat malam pertama disana karena suamiku belum mendapatkan flat untuk kami tinggali bersama ( karena flat suamiku sharing dengan 3 rekannya yg lain jadi nggak mungkin untuk tinggal disana ), sampai ditolong lagi oleh temannya yg lain untuk menempati flat yg juga lagi kosong ditinggal mudik ke India untuk waktu yg cukup lama, sampai akhirnya kita benar-benar menyewa sebuah flat selama aku tinggal disana. Pengalaman itu saja benar-benar memberiku pelajaran bahwa pertolongan Allah ada dimana-mana asalkan kita benar-benar ikhlas menjalaninya. Dan aku benar-benar membuktikannya waktu itu. Dimana ada kesulitan, disitu juga ada kemudahan.

Di Singapura, aku juga mengalami sedikit culture shock dengan kebebasan berpakaian yg dipakai oleh warga sana yg bagiku terlalu terbuka karena selama ini aku tinggal di daerah-daerah yg budayanya masih sungkan untuk berpakaian terlalu mengumbar aurat, dan pasti menjadi perhatian banyak orang ( selain Jakarta dan Bali tentunya ). Tapi walau begitu, orang yg bercadar hitam dan berabaya ( umunya orang2 India muslim ) juga tidak menjadi perhatian orang karena sudah menjadi pemandangan umum disana karena percampuran budaya Cina, Melayu dan India yg kental. Malah aku yg masih agak terkesima dengan cara berpakaian orang2 disana yg masih bangga mengikuti tradisi, umumnya orang Melayu yg masih banyak yg memakai baju kurung dan orang2 India yang memakai saree, salwar khameez ( semacam baju kurung dgn celana panjang ala India/Pakistan ) maupun kurta pyjama ( buat laki-laki). Bahkan orang-orang Syiah Indian ( Bohra ) disana punya pakaian khususnya sendiri yang membuat kita bisa mengidentifikasi kepercayaan mereka, semacam abaya bermotif bunga warna-warni dengan jilbab bermotif sama dengan baju dengan bentuk kepala yg mirip topi penutup orang2 Eropa jaman Victoria dulu.

Hal-hal yg tidak aku suka disana adalah ke-individualisme-an yg begitu tinggi yg bisa dilihat dari tempat tinggal warga disana yg berupa apartment maupun flat ( mulai dr 3 tingkat tanpa fasilitas-fasilitas apartment ), dan rumah tinggal seperti di Indonesia umumnya berupa Bungalow yang hanya bisa dimiliki oleh pengusaha/konglomerat. Kita mungkin tidak pernah tahu siapa tetangga sebelah kita jika salah satunya tidak pernah menyapa atau menampakkan diri. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing dan berjalan dengan cepat seperti dikejar waktu. Karena dulu aku terbiasa dengan menyetop angkot/bis dimanapun, aku merasa mudah capek harus berjalan kaki beratus-ratus meter ke stasiun kereta atau ke halte bus karena cuma di tempat-tempat seperti itulah kita bisa mendapatkan transportasi, kecuali kalau kita punya banyak uang dan rela menghabiskannya untuk ongkos taksi yg sangat mahal sekalleee. hehe. I really didn't have friends there, bukan karena aku tidak mau. Tapi memang kehidupan disana membuat susah untuk berteman, kecuali aku rela nongkrong di taman flat seharian dan ber-say hi dengan orang-orang yg lewat ( Gak segitunya kaleee... ). Pernah sesekali ikut pengajian di masjid dekat flatku malah dikira TKI sama orang melayu lokal sana. Walaah...segitu rendahkah semua wanita Indonesia disana sehingga semuanya dianggap sama? Pernah juga waktu naik bus sama suamiku, orang-orang bertampang Bangladesh melihat kami berdua terus yg membuat aku agak heran. Ternyata kata suamiku, disana emang banyak TKW yg berpacaran sama orang-orang Bangladesh yg kebanyak juga pekerja kasar, mungkin aku disangka TKW lagi kencan sama orang Bangla. Wadow, kena lagi nih daku. Masak tampangku kayak TKW sih? wkwkwk...! Kacau dah.
Harus kuakui, orang-orang disana tidak seramah dengan orang-orang kita, mungkin ada hubungannya dengan tekanan dan biaya hidup yg begitu tinggi disana, atau begitulah kehidupan kota metropolitan. Lu lu, gue gue. Satu lagi hal yg tidak aku suka, Singapura MAHALLL!! Ya transportnya, ya makanannya, ya sewa rumahnya, ya listriknya, ya tempat rekreasinya, semua deh. Makanan seporsi ( yg tipe sarapan ya ) yg paling murah ( thn 2004 dulu ) adalah 2 SingDollar alias 10 ribu bo!

Tapi harus kuakui juga banyak hal positif yg aku suka dari Singapura yaitu, kebersihan dan ketertiban kotanya: jalan-jalanya, lalu lintasnya, transportasinya, administrasinya sampai kebersihan toilet masjidnya yg patut ditiru oleh masjid-masjid di Indonesia. Di jalan kita tidak bisa asal slonong boy maen nyebrang aja seperti disini, kalo masih lampu merah kendaraan nggak boleh slonong boy dan kalo lampu ijo pejalan kaki juga gak boleh slonong boy terutama di jalan-jalan besar. Disana juga jelas mana tempat makan yg halal dan mana yg nggak. Bahkan pemilik warung China jika tahu kita muslim, mereka akan menyarankan kita untuk tidak makan di warungnya karena nggak halal dan malah mengarahkan kita untuk membeli makanan di kedai muslim. Masya Allah. Walaupun orang-orangnya cuek, tapi masih bersedia membantu ketika kita minta petunjuk arah dengan bis/kereta apa yg akan kita tuju dan tidak menipu ataupun meminta imbalan. Dan insya Allah walaupun kita first timer disana, kita nggak akan takut tersesat dan merasa aman berpergian sendiri karena petunjuk arah, peta semuanya ada dan jelas disana. Asalkan awak punya wang, okelah. Kalau tak punya wang? You cannot lah. :D